Tuesday, October 24, 2017

PSAK 70 ( Akuntansi Aset dan Liabilitas Pengampunan Pajak )


BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Di Indonesia salah satu penerimaan Negara yang sangat penting bagi pelaksanaan dan pembangunan nasional tersebut serta bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat adalah pajak meskipun ada juga masih dari banyak sektor lain seperti minyak bumi dan gas,serta bantuan dari luar negeri, namun hampir lebih dari 2/3 penerimaan Negara saat ini dihasilkan dari pajak. Pajak sebagai sumber penerimaan merupakan satu hal yang sangat wajar ketika sumber daya alam, khususnya minyak bumi tidak bisa diandalkan lagi. Penerimaan dari sumber daya alam memiliki umur yang relatif terbatas, suatu saat akan habis dan tidak bisa diperbaharui. Berbeda dengan pajak yang mempunyai umur tidak terbatas, dengan melihat semakin bertambahnya jumlah penduduk dan kesejahteraan masyarakat ( Rantung dan Adi, 2009), bahkan pajak juga dijadikan sebagai tolak ukur dari keberhasilan perekonomian suatu Negara.
 Pada kenyataanya tidak dapat dihindari bahwa peran serta wajib pajak dalam sistem pemungutan pajak sangat menentukan tercapainya rencana penerimaan pajak. Meskipun jumlah wajib pajak dari tahun ke tahun semakin bertambah namun terdapat kendala yang dapat menghambat upaya peningkatan tax ratio, kendala tersebut adalah kepatuhan wajib pajak . Menurut James yang dikutip oleh menyatakan bahwa besarnya tax gap mencerminkan tingkat kepatuhan membayar pajak (tax compliance). Oleh sebab itu, kepatuhan wajib pajak merupakan faktor utama yangmempengaruhi realisasi penerimaan pajak.
Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) dari tahun ketahun, senantiasa memberikan tugas kepada Direktorat Jendral Pajak untuk menaikan penerimaan pajak kepada Negara. Tindakan tesebut sangat rasional, karena pada kenyataannya ratio antara jumlah wajib pajak dengan jumlah penduduk serta jumlah usaha masih sangat kecil, di samping itu, tahun-tahun yang akan datang pajak akan diproyekan menjadi salah satu pilar utama penerimaan Negara secara mandiri (Soeprapto, Kedaulatan Rakyat, 4 Agustus 2001:8). Hal tersebut tidak dapat dipungkiri karena pada dasarnya membayar pajak akan menciptakan bangsa yang mandiri dimana dengan pajak ini, laju pembangunan dapat ditopang tanpa harus menggantungkan diri terhadap pinjaman luar negeri.
Sampai sekarang masih banyak warga masyarakat yang beranggapan bahwa pajak merupakan pungutan bersifat paksaan yang merupakan hak istimewa pemerintah dengan tidak memberikan kontraprestasi langsung kepada pembayar pajak menurut Judissono (1997). Adanya kondisi seperti ini tidak mendukung upaya menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat untuk menjadi wajib pajak yang patuh membayar pajak, tetapi akan menjadikan adanya kecenderungan untuk berusaha menghindar dari kewajiban pajak.
Sebenarnya masih banyak wajib pajak potensial yang belum terdaftar sebagai wajib pajak aktual. Ketidaktaatan dalam membayar pajak tidak hanya terjadi pada lapisan pengusaha saja tetapi telah menjadi rahasia umum bahwa para pekerja profesional lainnya juga tidak taat untuk membayar pajak.
Pemungutan pajak memang bukan suatu pekerjaan yang mudah, disamping peran serta aktif dari petugas perpajakan, juga dituntut kemauan dari para wajib pajak itu sendiri. Sedangkan kemauan membayar pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi sistem administrasi perpajakan suatu negara, pelayanan pada wajib pajak, penegakan hukum perpajakan dan tarif pajak. Selain itu juga didukung oleh pengetahuan tentang pajak, persepsi terhadap sanksi pajak, kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, persepsi terhadap para petugas pajak, dan terhadap kemudahan dalam pelaksanaan sistem pajak.
Sesuai sistem pemungutan pajak di Indonesia yang menganut sistem self assessment menyebabkan kebenaran pembayaran pajak tergantung pada kejujuran wajib pajak dalam pelaporan kewajiban perpajakannya ( Widayati dan Nurlis, 2010). Sebagai upaya dalam melakukan terobosan khususnya dalam penggalian potensi perpajakan, pemerintah yang dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak tahun 2008 telah mengeluarkan kebijakan pajak bagi Wajib Pajak yang secara sukarela melakukan pembetulan atas pelaporan pajak tahun-tahun yang lalu dan juga memberikan kelonggaran bagi masyarakat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang dikenal dengan Sunset Policy.
Sunset Policy adalah fasilitas penghapusan sanksi administrasi pajak berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Direktorat Jenderal Pajak, 2007). Adapun Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 adalah sebagai berikut Pasal 37A Ayat 1 berbunyi Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum tahun pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 37A Ayat 2 berbunyi Wajib Pajak orang pribadi yang sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas paja yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Syarat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar .
Tax amnesty adalah peluang dalam periode tertentu bagi wajib pajak untuk membetulkan laporan pajaknya dan membayar jumlah tertentu demi mendapatkan pengampunan berkaitan dengan kewajiban pajaknya (termasuk bunga dan sanksi administrasi) di masa lalu atau masa tersebut dengan jaminan bebas dari tuntutan pidana. Sunset Policy sebenarnya merupakan merupakan tax amnesty dengan tingkat yang paling rendah. Sunset policy hanya memberikan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi. Sedangkan pokok utang pajaknya tetap harus dilunasi. Pidana fiskal juga otomatis gugur jika wajib pajak melunasi pokok utang pajak yang belum dilaporkan atau belum dibayarkan untuk tahun-tahun pajak yang mendapat fasilitas sunset policy. Pemberian fasilitas ini juga dibatasi selama satu tahun sejak undang-undang ini diberlakukan (Suryani dan Anwar 2010). Dapat disimpulkan bahwa sunset policy memiliki dua substansi penting, yaitu penghapusan sanksi administrasi dalam masa berlakunya program dan penegasan sanksi-sanksi perpajakan setelah berakhirnya masa program.
Sebagai bentuk nyata dukungan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) atas program Tax Amnesty, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI telah mengesahkan PSAK 70 Akuntansi Aset dan Liabilitas Pengampunan Pajak. PSAK ini memberikan panduan bagi entitas untuk menyusun pelaporannya pasca pemberlakuan Undang-Undang Tax Amnesty. PSAK 70 ini akan memandu wajib pajak yang mengikuti Tax Amnesty, agar terhindar dari berbagai kesalahan akuntansi dan pelaporan keuangan yang mungkin timbul di kemudian hari.
PSAK ini mengatur bagaimana mencatat aset dan liabilitas dari hasil tax amnesty. Ada opsi yang diberikan
  1. Mengikuti standar akuntansi yang berlaku, mengakui aset atau liabilitas tax amnesty sesuai dengan ketentuan PSAK yang ada. Jika mengikuti standar akuntansi yang berlaku akan digunakan PSAK 25 koreksi kesalahan sebagai konsekuensinya, sehingga akan dilakukan koreksi atas saldo laba
  2. Mengikuti ketentuan khusus dalam PSAK 70, mengakui aset dan liabilitas sebesar jumlah aset yang dilaporkan dalam Surat Keterangan Pengampunan Pajak.
Untuk pengukuran berikutnya juga diberikan dua opsi yaitu mengikuti PSAK yang berlaku atau meneruskan penggunakan pengukuran yang telah dilakukan. Jika dilakukan pengukuran kembali maka perbedaan nilai akan dilaporkan dalam tambahan modal disetor.





BAB II
PEMBAHASAN

Standar Akuntansi Keuangan (SAK) adalah suatu kerangka dalam prosedur pembuatan laporan keuangan  agar terjadi keseragaman dalam penyajian laporan keuangan. Standar Akuntansi Keuangan (SAK) merupakan hasil perumusan Komite Prinsipil Akuntansi Indonesia pada tahun 1994 menggantikan Prinsip Akuntansi Indonesia tahun 1984.  SAK di Indonesia menrupakan terapan dari beberapa standard akuntansi yang ada seperti, IAS,IFRS,ETAP,GAAP. Selain itu ada juga PSAK syariah dan juga SAP.
Selain untuk keseragaman laporan keuangan, Standar akuntansi juga diperlukan untuk memudahkan penyusunan laporan keuangan, memudahkan auditor serta Memudahkan pembaca laporan keuangan untuk menginterpretasikan dan membandingkan laporan keuangan entitas yang berbeda. Di Indonesia SAK yang diterapkan akan berdasarkan IFRS pada tahun 2012 mendatang.
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) merupakan pedoman dalam melakukan praktek akuntansi dimana uraian materi di dalamnya mencakup hampir semua aspek yang berkaitan dengan akuntansi, yang dalam penyusunannya melibatkan sekumpulan orang dengan kemampuan dalam bidang akuntansi yang tergabung dalam suatu lembaga yang dinamakan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).  Dengan kata lain, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) adalah buku petunjuk bagi pelaku akuntansi yang berisi pedoman tentang segala hal yang ada hubungannya dengan akuntansi.
Standar Akuntansi Keuangan (SAK) mencakup konvensi, peraturan dan prosedur yang sudah disusun dan disahkan oleh lembaga resmi (standard setting body) pada saat tertentu.
Pernyataan di atas memberikan pemahaman bahwa   Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) merupakan buku petunjuk tentang akuntansi yang berisi konvensi atau kesepakatan, peraturan dan prosedur yang telah disahkan oleh suatu lembaga atau institut resmi.  Dengan kata lain Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)merupakan sebuah peraturan tentang prosedur akuntansi yang telah disepakati dan telah disahkan oleh sebuah lembaga atau institut resmi.
Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang disusun oleh lembaga Ikatan Akuntan Indonesia selalu mengacu pada teori-teori yang berlaku dan memberikan tafsiran dan penalaran yang telah mendalam dalam hal praktek terutama dalam pembuatan laporan keuangan dalam memperolah informasi yang akurat sehubungan data ekonomi.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami bahwa  Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) mengacu pada penafsiran dan penalaran teori-teori yang “berlaku” dalam hal praktek “pembuatan laporan keuangan” guna memperoleh inforamsi tentang kondisi ekonomi.
Pemahaman di atas memberikan gambaran bahwa Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) berisi “tata cara penyusunan laporan keuangan” yang selalu mengacu pada teori yang berlaku, atau dengan kata lain didasarkan pada kondisi yang sedang berlangsung.
Hal ini menyebabkan tidak menutup kemungkinan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dapat mengalami perubahan/penyesuaian dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan kebutuhan informasi ekonomi.
Dari keseluruhan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) merupakan suatu buku petunjuk dari prosedur akuntansi yang berisi peraturan tentang perlakuan, pencatatan, penyusunan dan penyajian laporan keuangan yang disusun oleh lembaga IAI yang didasarkan pada kondisi yang sedang berlangsung dan telah disepakati (konvensi) serta telah disahkan oleh lembaga atau institut resmi.
Sebagai suatu pedoman, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) bukan merupakan suatu kemutlakan bagi setiap perusahasan dalam membuat laporann keuangan.  Namun paling tidak dapat memastikan bahwa penempatan unsur-unsur atau elemen data ekonomi harus ditempatkan pada posisi yang tepat agar semua dat ekonomi dapat tersaji dengan baik, sehingga dapat memudahkan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam menginterpretasikan dan megevaluasi suatu laporan keuangan guna mengambil keputusan ekonomi yang baik bagi tiap-tiap pihak.
Sehubungan dengan disahkannya UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) pada tanggal 1 Juli 2016 oleh Presiden Joko Widodo, selanjutnya sebagai response atas masalah perlakuan akuntansi atas aset dan liabilitas yang timbul dari program Tax Amnesty tersebut, DSAK IAI telah menerbitkan Exposure Draft (ED) PSAK 70 : Akuntansi Aset dan Liabilitas Pengampunan Pajak.  ED PSAK 70 ini telah disetujui untuk disebarluaskan dan ditanggapi pada tanggal 18 Agustus 2016. Exposure Draft (ED) PSAK 70 terdiri dari 17 paragraf yang memberikan panduan bagi entitas untuk menyusun pelaporannya pasca pemberlakuan Undang-Undang Tax Amnesty. Isi dari Exposure Draft (ED) PSAK 70 : Akuntansi Aset dan Liabilitas Pengampunan Pajak antara lain :
Tujuan
01. Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur perlakuan akuntansi atas aset dan liabilitas yang timbul dari pengampunan pajak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (“UU Pengampunan Pajak”).
Ruang Lingkup
02. Entitas menerapkan persyaratan Pernyataan ini dalam laporan keuangannya jika entitas mengakui aset (liabilitas) yang timbul dari pengampunan pajak.
Definisi
03. Berikut adalah pengertian istilah yang digunakan dalam Pernyataan ini: Aset (liabilitas) pengampunan pajak adalah aset (liabilitas) yang timbul dari pengampunan pajak berdasarkan Surat Keterangan Pengampunan Pajak. Biaya perolehan aset pengampunan pajak adalah nilai aset berdasarkan Surat Keterangan Pengampunan Pajak. Pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap aset dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam UU Pengampunan Pajak.

Surat Keterangan Pengampunan Pajak (Surat Keterangan) adalah surat yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan sebagai bukti pemberian pengampunan pajak. Dalam hal Otoritas Pajak belum menerbitkan Surat Keterangan, maka Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak yang disampaikan Entitas dianggap diterima sebagai Surat Keterangan.

Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak (Surat Pernyataan) adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk mengungkapkan aset, liabilitas, nilai aset neto, serta penghitungan dan pembayaran uang tebusan. Uang tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan pengampunan pajak.

KEBIJAKAN AKUNTANSI
04. Pada saat diterbitkannya Surat Keterangan, entitas dalam laporan posisi keuangannya:
(a) mengakui aset dan liabilitas pengampunan pajak jika pengakuan atas aset atau liabilitas tersebut disyaratkan oleh SAK;
(b) tidak mengakui suatu item sebagai aset dan liabilitas jika SAK tidak memperbolehkan pengakuan atas item tersebut; dan
(c) mengukur, menyajikan, serta mengungkapkan aset dan liabilitas pengampunan pajak sesuai dengan SAK yang relevan.
05. Terlepas dari ketentuan dalam paragraf 04, Pernyataan ini memberikan opsi bagi entitas pada saat pengakuan awal untuk mengukur aset dan liabilitas pengampunan pajak sesuai dengan ketentuan dalam paragraf 06-14.

PENGAKUAN DAN PENGUKURAN
Pengukuran Saat Pengakuan Awal
06. Aset pengampunan pajak diakui sebesar biaya perolehan aset pengampunan pajak.
07. Liabilitas pengampunan pajak diakui sebesar kewajiban kontraktual untuk menyerahkan kas atau setara kas untuk menyelesaikan kewajiban yang berkaitan langsung dengan perolehan aset pengampunan pajak.
08. Entitas mengakui selisih antara aset pengampunan pajak dan liabilitas pengampunan pajak sebagai bagian dari tambahan modal disetor di ekuitas.
09.Entitas mengakui uang tebusan yang dibayarkan dalam laba rugi pada periode disampaikannya Surat Pernyataan.
10. Pengukuran setelah pengakuan awal aset dan liabilitas pengampunan pajak mengacu pada SAK yang relevan, antara lain:
(a) Properti investasi, sesuai dengan PSAK 13: Properti Investasi
(b) Persediaan, sesuai dengan PSAK 14: Persediaan
(c) Investasi pada entitas asosiasi dan ventura bersama, sesuai dengan PSAK 15: Investasi pada Entitas Asosiasi dan Ventura Bersama
(d) Aset tetap, sesuai dengan PSAK 16: Aset Tetap
(e) Aset tak berwujud, sesuai dengan PSAK 19: Aset Takberwujud
(f) Aset teridentifikasi dan liabilitas yang diambil alih yang timbul dari kombinasi bisnis, sesuai dengan PSAK 22: Kombinasi Bisnis
(g) Instrumen keuangan, sesuai dengan PSAK 55: Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran

PENGHENTIAN PENGAKUAN
11. Entitas menerapkan kriteria penghentian pengakuan atas masing-masing aset dan liabilitas pengampunan pajak sesuai dengan ketentuan dalam SAK lain yang relevan untuk masing-masing jenis aset dan liabilitas tersebut.
PENYAJIAN
12. Aset dan liabilitas pengampunan pajak disajikan secara terpisah dari aset dan liabilitas lainnya dalam laporan posisi keuangan.
13. Entitas tidak melakukan saling hapus antara aset dan liabilitas pengampunan pajak.

PENGUNGKAPAN
14. Laporan keuangan entitas mengungkapkan tanggal Surat Keterangan dan jumlah yang diakui sebagai aset pengampunan pajak berdasarkan Surat Keterangan serta jumlah liabilitas pengampunan pajak.

KETENTUAN TRANSISI
15. Entitas menerapkan Pernyataan ini secara prospektif jika memilih opsi sesuai paragraf 05. Laporan keuangan untuk periode sebelum tanggal efektif Pernyataan ini tidak perlu disajikan kembali.
16. Entitas menerapkan ketentuan dalam PSAK 25: Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Kesalahan paragraf 41–53 jika memilih opsi sesuai paragraf 04 .

TANGGAL EFEKTIF
17. Pernyataan ini berlaku sejak tanggal pengesahan UU Pengampunan Pajak.

Ilustrasi Penerapan Perlakuan Akuntansi Tax Amnesty

Pertama yang harus diperhatikan terkait dengan deklarasi harta, baik di dalam maupun luar negeri. Secara singkat deklarasi harta berarti mengakui kepemilikan atas seluruh harta yang sebelumnya disembunyikan atau tidak dilaporkan dalam laporan perpajakan. Ketika tidak melaporkan harta tersebut dalam laporan perpajakan, umumnya juga tidak mengakuinya dalam laporan keuangan. Hal ini dikarenakan laporan keuangan merupakan dokumen yang wajib dilampirkan dengan laporan SPT Tahunan PPh Badan 1771.
Ketika mendeklarasikan harta, otomatis juga akan mengakuinya dalam sistem akuntansi perusahaan. Perlakuan akuntansi yang tepat untuk hal ini adalah dengan mengakui harta tersebut sebesar nilai wajarnya di sisi debit dan menaikkan jumlah ekuitas pemegang saham, dalam hal ini laba ditahan di sisi kredit. Sebagai contoh PT. XYZ memutuskan mengikuti program pengampunan pajak dan mengakui aset berupa sebidang tanah dengan nilai wajar Rp 2,5 miliar. Jurnal yang harus dibuat oleh PT. XYZ adalah sebagai berikut:

Dr - Tanah Rp 2,5 miliar

Cr- Laba Ditahan Rp 2,5 miliar

Dalam sistem pengampunan pajak, selain mengakui harta yang sebelumnya tidak dilaporkan perusahaan juga diperbolehkan untuk mengakui utang yang dimilikinya yang dapat digunakan sebagai pegurang sehingga uang tebusan yang dibayarkan berkurang jumlahnya. Secara konseptual, selisih atas harta dan utang yang tidak dilaporkan tersebut merupakan jumlah laba ditahan sesungguhnya yang dimiliki perusahaan. Sebagai contoh, harta berupa sebidang tanah senilai Rp 2,5 miliar milik PT XYZ tersebut ternyata dibiayai dengan utang sebesar Rp 1 miliar. Maka jurnal yang dibuat oleh PT XYZ adalah sebagai berikut:

Dr - Laba Ditahan Rp1 miliar

Cr- Utang Rp1 miliar

atau bisa digabungkan dengan jurnal sebelumnya menjadi sebagai berikut :

Dr - Tanah Rp 2,5 miliar

Cr - Utang Rp 1 miliar

Cr - Laba Ditahan Rp 1,5 miliar

Kedua yaitu terkait dengan uang tebusan yang dibayarkan. Uang tebusan dibayarkan berdasarkan persentase tertentu dari selisih harta dan utang yang sebelumnya tidak dilaporkan. Uang tebusan harus dibayarkan secara langsung melalui bank persepsi sehingga di sisi kredit mengurangi kas perusahaan dan di sisi debit merupakan beban yang harus diakui oleh perusahaan. Melanjutkan contoh di atas, dengan harta bersih sebesar Rp 1 miliar PT XYZ diwajibkan membayar uang tebusan sebesar Rp 30 juta (2% x Rp 1,5 miliar) karena mengikuti program pengampunan pajak di periode 1. Jurnal yang harus dibuat oleh PT XYZ adalah sebagai berikut:

Dr - Beban Uang Tebusan Rp 30 juta

Cr - Kas Rp 30 juta






BAB III
KESIMPULAN

·         Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) merupakan pedoman dalam melakukan praktek akuntansi dimana uraian materi di dalamnya mencakup hampir semua aspek yang berkaitan dengan akuntansi, yang dalam penyusunannya melibatkan sekumpulan orang dengan kemampuan dalam bidang akuntansi yang tergabung dalam suatu lembaga yang dinamakan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
·         PSAK 70 bertujuan mengatur perlakuan akuntansi atas aset dan liabilitas yang timbul dari pengampunan pajak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (“UU Pengampunan Pajak”).
·         Ruang lingkup PSAK 70 adalah Entitas menerapkan persyaratan Pernyataan ini dalam laporan keuangannya jika entitas mengakui aset (liabilitas) yang timbul dari pengampunan pajak.













  

DAFTAR PUSTAKA

Judisseno, Rimsky K. Pajak dan Strategi Bisnis: Suatu Tinjauan tentang Kepastian Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 199
Widayati dan Nurlis, 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemauan Untuk Membayar Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Melakukan Pekerjaan Bebas Pada KPP Pratama Gambir Tiga, Makalah Symposium Nasional Akuntansi 13




No comments:

Post a Comment