BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Di
Indonesia salah satu penerimaan Negara yang sangat penting bagi pelaksanaan dan
pembangunan nasional tersebut serta bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat adalah pajak meskipun ada juga masih dari banyak
sektor lain seperti minyak bumi dan gas,serta bantuan dari luar negeri, namun
hampir lebih dari 2/3 penerimaan Negara saat ini dihasilkan dari pajak. Pajak
sebagai sumber penerimaan merupakan satu hal yang sangat wajar ketika sumber
daya alam, khususnya minyak bumi tidak bisa diandalkan lagi. Penerimaan dari
sumber daya alam memiliki umur yang relatif terbatas, suatu saat akan habis dan
tidak bisa diperbaharui. Berbeda dengan pajak yang mempunyai umur tidak
terbatas, dengan melihat semakin bertambahnya jumlah penduduk dan kesejahteraan
masyarakat ( Rantung dan Adi, 2009), bahkan pajak juga dijadikan sebagai tolak
ukur dari keberhasilan perekonomian suatu Negara.
Pada kenyataanya tidak dapat dihindari bahwa peran serta wajib pajak
dalam sistem pemungutan pajak sangat menentukan tercapainya rencana penerimaan
pajak. Meskipun jumlah wajib pajak dari tahun ke tahun semakin bertambah namun
terdapat kendala yang dapat menghambat upaya peningkatan tax ratio,
kendala tersebut adalah kepatuhan wajib pajak . Menurut James yang dikutip oleh
menyatakan bahwa besarnya tax gap mencerminkan tingkat kepatuhan
membayar pajak (tax compliance). Oleh sebab itu, kepatuhan wajib pajak
merupakan faktor utama yangmempengaruhi realisasi penerimaan pajak.
Anggaran Penerimaan dan Belanja
Daerah (APBD) dari tahun ketahun, senantiasa memberikan tugas kepada Direktorat
Jendral Pajak untuk menaikan penerimaan pajak kepada Negara. Tindakan tesebut
sangat rasional, karena pada kenyataannya ratio antara jumlah wajib pajak
dengan jumlah penduduk serta jumlah usaha masih sangat kecil, di samping itu,
tahun-tahun yang akan datang pajak akan diproyekan menjadi salah satu pilar
utama penerimaan Negara secara mandiri (Soeprapto, Kedaulatan Rakyat, 4 Agustus
2001:8). Hal tersebut tidak dapat dipungkiri karena pada dasarnya membayar
pajak akan menciptakan bangsa yang mandiri dimana dengan pajak ini, laju
pembangunan dapat ditopang tanpa harus menggantungkan diri terhadap pinjaman
luar negeri.
Sampai sekarang masih banyak warga
masyarakat yang beranggapan bahwa pajak merupakan pungutan bersifat paksaan
yang merupakan hak istimewa pemerintah dengan tidak memberikan kontraprestasi
langsung kepada pembayar pajak menurut Judissono (1997). Adanya kondisi seperti
ini tidak mendukung upaya menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat untuk menjadi
wajib pajak yang patuh membayar pajak, tetapi akan menjadikan adanya
kecenderungan untuk berusaha menghindar dari kewajiban pajak.
Sebenarnya masih banyak wajib pajak
potensial yang belum terdaftar sebagai wajib pajak aktual. Ketidaktaatan dalam
membayar pajak tidak hanya terjadi pada lapisan pengusaha saja tetapi telah
menjadi rahasia umum bahwa para pekerja profesional lainnya juga tidak taat
untuk membayar pajak.
Pemungutan pajak memang bukan suatu
pekerjaan yang mudah, disamping peran serta aktif dari petugas perpajakan, juga
dituntut kemauan dari para wajib pajak itu sendiri. Sedangkan kemauan membayar
pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi sistem administrasi
perpajakan suatu negara, pelayanan pada wajib pajak, penegakan hukum perpajakan
dan tarif pajak. Selain itu juga didukung oleh pengetahuan tentang pajak,
persepsi terhadap sanksi pajak, kesadaran masyarakat dalam membayar pajak,
persepsi terhadap para petugas pajak, dan terhadap kemudahan dalam pelaksanaan
sistem pajak.
Sesuai sistem pemungutan pajak di
Indonesia yang menganut sistem self assessment menyebabkan kebenaran
pembayaran pajak tergantung pada kejujuran wajib pajak dalam pelaporan
kewajiban perpajakannya ( Widayati dan Nurlis, 2010). Sebagai upaya dalam
melakukan terobosan khususnya dalam penggalian potensi perpajakan, pemerintah
yang dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak tahun 2008 telah mengeluarkan kebijakan
pajak bagi Wajib Pajak yang secara sukarela melakukan pembetulan atas pelaporan
pajak tahun-tahun yang lalu dan juga memberikan kelonggaran bagi masyarakat
untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang dikenal dengan Sunset
Policy.
Sunset Policy adalah fasilitas penghapusan sanksi
administrasi pajak berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 37A
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Direktorat Jenderal Pajak, 2007). Adapun
Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 adalah sebagai berikut Pasal 37A
Ayat 1 berbunyi Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan sebelum tahun pajak 2007, yang mengakibatkan pajak
yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam
jangka waktu 1 tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, dapat diberikan
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas
keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 37A Ayat 2 berbunyi
Wajib Pajak orang pribadi yang sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh
Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 tahun setelah berlakunya Undang-Undang
ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas paja yang tidak atau kurang
dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak
dilakukan pemeriksaan, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan
bahwa Syarat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau
menyatakan lebih bayar .
Tax amnesty adalah peluang dalam periode tertentu
bagi wajib pajak untuk membetulkan laporan pajaknya dan membayar jumlah
tertentu demi mendapatkan pengampunan berkaitan dengan kewajiban pajaknya
(termasuk bunga dan sanksi administrasi) di masa lalu atau masa tersebut dengan
jaminan bebas dari tuntutan pidana. Sunset Policy sebenarnya merupakan
merupakan tax amnesty dengan tingkat yang paling rendah. Sunset
policy hanya memberikan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi.
Sedangkan pokok utang pajaknya tetap harus dilunasi. Pidana fiskal juga
otomatis gugur jika wajib pajak melunasi pokok utang pajak yang belum
dilaporkan atau belum dibayarkan untuk tahun-tahun pajak yang mendapat
fasilitas sunset policy. Pemberian fasilitas ini juga dibatasi selama
satu tahun sejak undang-undang ini diberlakukan (Suryani dan Anwar 2010). Dapat
disimpulkan bahwa sunset policy memiliki dua substansi penting, yaitu
penghapusan sanksi administrasi dalam masa berlakunya program dan penegasan
sanksi-sanksi perpajakan setelah berakhirnya masa program.
Sebagai
bentuk nyata dukungan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) atas program Tax Amnesty,
Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI telah mengesahkan PSAK 70 Akuntansi
Aset dan Liabilitas Pengampunan Pajak. PSAK ini memberikan panduan bagi entitas
untuk menyusun pelaporannya pasca pemberlakuan Undang-Undang Tax Amnesty. PSAK
70 ini akan memandu wajib pajak yang mengikuti Tax Amnesty, agar terhindar dari
berbagai kesalahan akuntansi dan pelaporan keuangan yang mungkin timbul di
kemudian hari.
PSAK ini mengatur bagaimana mencatat aset dan
liabilitas dari hasil tax amnesty. Ada opsi yang diberikan
- Mengikuti standar akuntansi yang berlaku, mengakui aset atau liabilitas tax amnesty sesuai dengan ketentuan PSAK yang ada. Jika mengikuti standar akuntansi yang berlaku akan digunakan PSAK 25 koreksi kesalahan sebagai konsekuensinya, sehingga akan dilakukan koreksi atas saldo laba
- Mengikuti ketentuan khusus dalam PSAK 70, mengakui aset dan liabilitas sebesar jumlah aset yang dilaporkan dalam Surat Keterangan Pengampunan Pajak.
Untuk pengukuran berikutnya juga diberikan
dua opsi yaitu mengikuti PSAK yang berlaku atau meneruskan penggunakan
pengukuran yang telah dilakukan. Jika dilakukan pengukuran kembali maka
perbedaan nilai akan dilaporkan dalam tambahan modal disetor.
BAB II
PEMBAHASAN
Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) adalah suatu kerangka dalam prosedur pembuatan laporan
keuangan agar terjadi keseragaman dalam penyajian laporan keuangan.
Standar Akuntansi Keuangan (SAK) merupakan hasil perumusan Komite Prinsipil
Akuntansi Indonesia pada tahun 1994 menggantikan Prinsip Akuntansi Indonesia
tahun 1984. SAK di Indonesia menrupakan terapan dari beberapa standard
akuntansi yang ada seperti, IAS,IFRS,ETAP,GAAP. Selain itu ada juga PSAK
syariah dan juga SAP.
Selain
untuk keseragaman laporan keuangan, Standar akuntansi juga diperlukan untuk
memudahkan penyusunan laporan keuangan, memudahkan auditor serta Memudahkan
pembaca laporan keuangan untuk menginterpretasikan dan membandingkan laporan
keuangan entitas yang berbeda. Di Indonesia SAK yang diterapkan akan
berdasarkan IFRS pada tahun 2012 mendatang.
Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) merupakan pedoman dalam melakukan praktek
akuntansi dimana uraian materi di dalamnya mencakup hampir semua aspek yang
berkaitan dengan akuntansi, yang dalam penyusunannya melibatkan sekumpulan
orang dengan kemampuan dalam bidang akuntansi yang tergabung dalam suatu
lembaga yang dinamakan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Dengan kata lain,
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) adalah buku petunjuk bagi pelaku
akuntansi yang berisi pedoman tentang segala hal yang ada hubungannya dengan
akuntansi.
Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) mencakup konvensi, peraturan dan prosedur yang sudah
disusun dan disahkan oleh lembaga resmi (standard setting body) pada saat
tertentu.
Pernyataan di atas
memberikan pemahaman bahwa Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) merupakan buku petunjuk tentang akuntansi yang berisi konvensi atau kesepakatan,
peraturan dan prosedur yang telah disahkan oleh suatu lembaga atau institut
resmi. Dengan kata lain Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK)merupakan sebuah peraturan tentang prosedur akuntansi yang telah
disepakati dan telah disahkan oleh sebuah lembaga atau institut resmi.
Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) yang disusun oleh lembaga Ikatan Akuntan Indonesia
selalu mengacu pada teori-teori yang berlaku dan memberikan tafsiran dan
penalaran yang telah mendalam dalam hal praktek terutama dalam pembuatan
laporan keuangan dalam memperolah informasi yang akurat sehubungan data
ekonomi.
Berdasarkan
pernyataan di atas dapat dipahami bahwa Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) mengacu pada penafsiran dan penalaran teori-teori yang
“berlaku” dalam hal praktek “pembuatan laporan keuangan” guna memperoleh
inforamsi tentang kondisi ekonomi.
Pemahaman di atas
memberikan gambaran bahwa Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) berisi
“tata cara penyusunan laporan keuangan” yang selalu mengacu pada teori yang
berlaku, atau dengan kata lain didasarkan pada kondisi yang sedang berlangsung.
Hal ini menyebabkan tidak
menutup kemungkinan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dapat
mengalami perubahan/penyesuaian dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan
kebutuhan informasi ekonomi.
Dari
keseluruhan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) merupakan suatu buku petunjuk dari prosedur akuntansi
yang berisi peraturan tentang perlakuan, pencatatan, penyusunan dan penyajian
laporan keuangan yang disusun oleh lembaga IAI yang didasarkan pada kondisi
yang sedang berlangsung dan telah disepakati (konvensi) serta telah disahkan
oleh lembaga atau institut resmi.
Sebagai suatu pedoman,
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) bukan merupakan suatu kemutlakan
bagi setiap perusahasan dalam membuat laporann keuangan. Namun paling
tidak dapat memastikan bahwa penempatan unsur-unsur atau elemen data ekonomi
harus ditempatkan pada posisi yang tepat agar semua dat ekonomi dapat tersaji
dengan baik, sehingga dapat memudahkan bagi pihak-pihak yang berkepentingan
dalam menginterpretasikan dan megevaluasi suatu laporan keuangan guna mengambil
keputusan ekonomi yang baik bagi tiap-tiap pihak.
Sehubungan dengan
disahkannya UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) pada
tanggal 1 Juli 2016 oleh Presiden Joko Widodo, selanjutnya sebagai response
atas masalah perlakuan akuntansi atas aset dan liabilitas yang timbul dari
program Tax Amnesty tersebut, DSAK IAI telah menerbitkan Exposure
Draft (ED) PSAK 70 : Akuntansi Aset dan Liabilitas Pengampunan Pajak.
ED PSAK 70 ini telah disetujui untuk disebarluaskan dan ditanggapi pada tanggal
18 Agustus 2016. Exposure Draft (ED) PSAK 70 terdiri dari
17 paragraf yang memberikan panduan bagi
entitas untuk menyusun pelaporannya pasca pemberlakuan Undang-Undang Tax
Amnesty. Isi dari Exposure Draft (ED) PSAK 70 : Akuntansi Aset dan Liabilitas Pengampunan
Pajak antara lain :
Tujuan
01. Pernyataan ini
bertujuan untuk mengatur perlakuan akuntansi atas aset dan liabilitas yang
timbul dari pengampunan pajak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016
tentang Pengampunan Pajak (“UU Pengampunan Pajak”).
Ruang
Lingkup
02. Entitas menerapkan persyaratan Pernyataan ini
dalam laporan keuangannya jika entitas mengakui aset (liabilitas) yang timbul
dari pengampunan pajak.
Definisi
03. Berikut adalah pengertian istilah yang
digunakan dalam Pernyataan ini: Aset (liabilitas) pengampunan pajak adalah aset
(liabilitas) yang timbul dari pengampunan pajak berdasarkan Surat Keterangan Pengampunan Pajak. Biaya perolehan aset pengampunan pajak adalah
nilai aset berdasarkan Surat Keterangan Pengampunan Pajak. Pengampunan pajak
adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi
administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara
mengungkap aset dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam UU
Pengampunan Pajak.
Surat Keterangan
Pengampunan Pajak (Surat Keterangan) adalah surat yang diterbitkan oleh Menteri
Keuangan sebagai bukti pemberian pengampunan pajak. Dalam hal Otoritas Pajak belum menerbitkan Surat
Keterangan, maka Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak yang
disampaikan Entitas dianggap diterima sebagai Surat Keterangan.
Surat Pernyataan
Harta untuk Pengampunan Pajak (Surat Pernyataan) adalah surat yang digunakan
oleh Wajib Pajak untuk mengungkapkan aset, liabilitas, nilai aset neto, serta penghitungan
dan pembayaran uang tebusan. Uang tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan
ke kas negara untuk mendapatkan pengampunan pajak.
KEBIJAKAN AKUNTANSI
04. Pada saat diterbitkannya Surat Keterangan, entitas
dalam laporan posisi keuangannya:
(a) mengakui aset dan liabilitas pengampunan pajak jika pengakuan atas
aset atau liabilitas tersebut disyaratkan oleh SAK;
(b) tidak mengakui suatu item sebagai aset dan liabilitas jika SAK
tidak memperbolehkan pengakuan atas item tersebut; dan
(c) mengukur, menyajikan, serta mengungkapkan aset dan liabilitas
pengampunan pajak sesuai dengan SAK yang relevan.
05. Terlepas dari ketentuan dalam paragraf 04, Pernyataan
ini memberikan opsi bagi entitas pada saat pengakuan awal untuk mengukur aset
dan liabilitas pengampunan pajak sesuai dengan ketentuan dalam paragraf 06-14.
PENGAKUAN DAN
PENGUKURAN
Pengukuran Saat
Pengakuan Awal
06. Aset pengampunan pajak diakui sebesar
biaya perolehan aset pengampunan pajak.
07. Liabilitas pengampunan pajak diakui
sebesar kewajiban kontraktual untuk menyerahkan kas atau setara kas untuk
menyelesaikan kewajiban yang berkaitan langsung dengan perolehan aset
pengampunan pajak.
08. Entitas mengakui selisih antara aset
pengampunan pajak dan liabilitas pengampunan pajak sebagai bagian dari tambahan
modal disetor di ekuitas.
09.Entitas mengakui uang tebusan yang
dibayarkan dalam laba rugi pada periode disampaikannya Surat Pernyataan.
10. Pengukuran setelah pengakuan awal aset
dan liabilitas pengampunan pajak mengacu pada SAK yang relevan, antara lain:
(a) Properti investasi, sesuai dengan PSAK 13: Properti Investasi
(b) Persediaan, sesuai dengan PSAK 14: Persediaan
(c) Investasi pada entitas asosiasi dan
ventura bersama, sesuai dengan PSAK 15: Investasi
pada Entitas Asosiasi dan Ventura Bersama
(d) Aset tetap, sesuai dengan PSAK 16: Aset Tetap
(e) Aset tak berwujud, sesuai dengan PSAK 19: Aset Takberwujud
(f) Aset teridentifikasi dan liabilitas yang
diambil alih yang timbul dari kombinasi bisnis, sesuai dengan PSAK 22: Kombinasi Bisnis
(g) Instrumen keuangan, sesuai dengan PSAK
55: Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran
PENGHENTIAN
PENGAKUAN
11. Entitas menerapkan kriteria penghentian
pengakuan atas masing-masing aset dan liabilitas pengampunan pajak sesuai
dengan ketentuan dalam SAK lain yang relevan untuk masing-masing jenis aset dan
liabilitas tersebut.
PENYAJIAN
12. Aset dan liabilitas pengampunan pajak
disajikan secara terpisah dari aset dan liabilitas lainnya dalam laporan posisi
keuangan.
13. Entitas tidak melakukan saling hapus
antara aset dan liabilitas pengampunan pajak.
PENGUNGKAPAN
14. Laporan keuangan entitas mengungkapkan
tanggal Surat Keterangan dan jumlah yang diakui sebagai aset pengampunan pajak
berdasarkan Surat Keterangan serta jumlah liabilitas pengampunan pajak.
KETENTUAN TRANSISI
15. Entitas menerapkan Pernyataan ini secara prospektif
jika memilih opsi sesuai paragraf 05. Laporan keuangan untuk periode sebelum
tanggal efektif Pernyataan ini tidak perlu disajikan kembali.
16. Entitas menerapkan ketentuan dalam PSAK 25: Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi
Akuntansi, dan Kesalahan paragraf
41–53 jika memilih opsi sesuai paragraf
04 .
TANGGAL EFEKTIF
17. Pernyataan ini berlaku sejak tanggal
pengesahan UU Pengampunan Pajak.
Ilustrasi
Penerapan Perlakuan Akuntansi Tax Amnesty
Pertama
yang harus diperhatikan terkait dengan deklarasi harta, baik di dalam maupun
luar negeri. Secara singkat deklarasi harta berarti mengakui kepemilikan atas
seluruh harta yang sebelumnya disembunyikan atau tidak dilaporkan dalam laporan
perpajakan. Ketika tidak melaporkan harta tersebut dalam laporan perpajakan,
umumnya juga tidak mengakuinya dalam laporan keuangan. Hal ini dikarenakan
laporan keuangan merupakan dokumen yang wajib dilampirkan dengan laporan SPT
Tahunan PPh Badan 1771.
Ketika
mendeklarasikan harta, otomatis juga akan mengakuinya dalam sistem akuntansi
perusahaan. Perlakuan akuntansi yang tepat untuk hal ini adalah dengan mengakui
harta tersebut sebesar nilai wajarnya di sisi debit dan menaikkan jumlah
ekuitas pemegang saham, dalam hal ini laba ditahan di sisi kredit. Sebagai
contoh PT. XYZ memutuskan mengikuti program pengampunan pajak dan mengakui aset
berupa sebidang tanah dengan nilai wajar Rp 2,5 miliar. Jurnal yang harus
dibuat oleh PT. XYZ adalah sebagai berikut:
Dr - Tanah Rp 2,5 miliar
Cr- Laba Ditahan Rp 2,5 miliar
Dalam
sistem pengampunan pajak, selain mengakui harta yang sebelumnya tidak dilaporkan
perusahaan juga diperbolehkan untuk mengakui utang yang dimilikinya yang dapat
digunakan sebagai pegurang sehingga uang tebusan yang dibayarkan berkurang
jumlahnya. Secara konseptual, selisih atas harta dan utang yang tidak
dilaporkan tersebut merupakan jumlah laba ditahan sesungguhnya yang dimiliki
perusahaan. Sebagai contoh, harta berupa sebidang tanah senilai Rp 2,5 miliar
milik PT XYZ tersebut ternyata dibiayai dengan utang sebesar Rp 1 miliar. Maka
jurnal yang dibuat oleh PT XYZ adalah sebagai berikut:
Dr - Laba Ditahan Rp1
miliar
Cr- Utang Rp1 miliar
atau bisa digabungkan dengan jurnal sebelumnya menjadi sebagai berikut :
Dr - Tanah Rp 2,5 miliar
Cr - Utang Rp 1 miliar
Cr - Laba Ditahan Rp 1,5 miliar
Kedua yaitu
terkait dengan uang tebusan yang dibayarkan. Uang tebusan dibayarkan
berdasarkan persentase tertentu dari selisih harta dan utang yang sebelumnya
tidak dilaporkan. Uang tebusan harus dibayarkan secara langsung melalui bank
persepsi sehingga di sisi kredit mengurangi kas perusahaan dan di sisi debit
merupakan beban yang harus diakui oleh perusahaan. Melanjutkan contoh di atas,
dengan harta bersih sebesar Rp 1 miliar PT XYZ diwajibkan membayar uang tebusan
sebesar Rp 30 juta (2% x Rp 1,5 miliar) karena mengikuti program pengampunan
pajak di periode 1. Jurnal yang harus dibuat oleh PT XYZ adalah sebagai
berikut:
Dr - Beban Uang Tebusan Rp
30 juta
Cr - Kas Rp 30 juta
BAB III
KESIMPULAN
·
Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) merupakan pedoman dalam melakukan praktek akuntansi
dimana uraian materi di dalamnya mencakup hampir semua aspek yang berkaitan
dengan akuntansi, yang dalam penyusunannya melibatkan sekumpulan orang dengan
kemampuan dalam bidang akuntansi yang tergabung dalam suatu lembaga yang
dinamakan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
·
PSAK 70
bertujuan mengatur
perlakuan akuntansi atas aset dan liabilitas yang timbul dari pengampunan pajak
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (“UU
Pengampunan Pajak”).
·
Ruang lingkup PSAK 70
adalah Entitas menerapkan persyaratan Pernyataan ini dalam
laporan keuangannya jika entitas mengakui aset (liabilitas) yang timbul dari
pengampunan pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Judisseno, Rimsky K. Pajak dan Strategi
Bisnis: Suatu Tinjauan tentang Kepastian Hukum dan Penerapan Akuntansi di
Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 199
Widayati dan
Nurlis, 2010. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Kemauan Untuk Membayar Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi Yang
Melakukan Pekerjaan Bebas Pada KPP Pratama Gambir Tiga, Makalah Symposium
Nasional Akuntansi 13
No comments:
Post a Comment